+ -

Pages

Jumat, 05 Agustus 2011

[daarut-tauhiid] sejarah indonesia Fw: Buya Hamka ~ketika ulama tak bisa dibeli~

_.___
Salam,
Sebuah kepingan sejarah yang salah satu episodenya bertepatan dengan bulan
yang disucikan dan dimuliakan ummat Islam khususnya di Indonesia, mangkatnya
Buya HAMKA, anak bangsa milik tanah air dan dunia.
Selamat menikmati dan semoga bermanfaat ... salah satu versi sejarah anak
bangsa.

RSA

http://serbasejarah.wordpress.com/2011/07/19/buya-hamka-ketika-ulama-tak-bisa-dibeli/

Buya Hamka ~ketika ulama tak bisa dibeli~
19JUL

Surat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI
Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya
pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan
Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, *Hamka telah meletakkan
jabatan sebagai Ketua Umum Majeiis Ulama Indonesia (MUI)*.

Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan.
Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar
akan kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam
pernyataannya mengharapkan agar mundurnya Hamka "jangan sampai dipergunakan
golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi
merusak umat lslam sendiri."

*Kenapa Hamka mengundurkan diri?* Hamka sendiri mengungkapkan pada pers,
pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang
dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan *umat Islam
mengikuti upacara Natal*, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi
Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut
sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal
umat Islam. "Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar," katanya.

Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah.
Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa tersebut, yang
mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang
dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus
MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat
pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30
April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani
Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.

Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah
wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan
sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir
dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang
bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi bila itu soalnya, kenapa heboh?
Rupanya "bocor"nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat menyudutkan Menteri
Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam pertemuannya dengan
pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat menyatakan
bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya
beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu
juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. "*Menteri Agama secara resmi
memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak
agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu
petunjuk pelaksanaannya*," kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI.

Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri
itu, Hamka kemudian minta iin berbicara dan berkata, menurut seorang yang
hadir, "Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti
gunung yang harus runtuh." Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang
mengundurkan diri. "Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah
yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah yang
mesti berhenti," kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya
yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya
"kesalahpahaman" antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya
fatwa itu.

Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut.
*"Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan
memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran.
Alangkah bobroknya saya ini, bukan?"* kata Hamka. Alasan itu agaknya yang
mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal
Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu
"tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan hukum)
isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh." HAMKA juga menjelaskan,
fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli
agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional —
termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.

Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya
memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Pada zamam
pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi
bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang
'kebakaran jenggot'. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga
terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka,
wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan
majalah yang dibentuknya "Panji Masyarat" pernah dibredel Soekarno karena
menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul "Demokrasi Kita" yang terkenal
itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin
yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan
urusan-urusan politik, hari-hari Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah
subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.

Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota Majelis Ulama
tidak digaji. Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti
ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama
antara pemerintah dan ulama. Mohammad Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70
tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu sebagai bagian dari "politik
Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama". Ulama mubaligh ini, menurut
Roem, kuat sekali menyimpan gambaran "*ulama yang tidak bisa dibeli*".
Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian,
kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan.

******

TAK ada lagi Buya Hamka. orang tak akan menantikan khotbahnya di Masjid Al
Azhar. Tak akan mendengarkan suaranya yang serak itu lagi, pada malam
tarawih, pada kuliah pagi, pada pengajian subuh lewat RRI — untuk seluruh
Indonesia. Suara yang sangat dikenal itu akan tak ada lagi. Selama-lamanya.

Ulama sangat penting itu berpulang "di hari baik bulan baik", hari Jum'at 21
Ramadhan (24 Juli), "ketika bulan puasa masuk tahap ketiga" atau tahap
lailatul qadar, menurut pengertian orang santri. Memang menunjukkan
keutamaan: ribuan orang yang mengiring jenazahnya ke pemakaman, dan yang
keluar ke pinggir-pinggir jalan, boleh dikatakan semuanya orang-orang yang
berpuasa dan baru turun dari sembahyang Jum'at. Entah apa yang menggertak
mereka itu: dalam waktu hanya empat jam, dan tanpa sempat disiarkan koran
(meninggal pukul 10.30, dan diberangkatkan ke pemakaman pukul – 14.30),
ribuan para pelayat memenuhi jalan dan pekuburan dengan kendaraan yang macet
panjang di daerah Kebayoran Lama dan Tanah Kusir.

Hamka memang sudah hampir tidak berarti "golongan" agama. Juga tidak hanya
seorang "kiai". Barangkali memang inilah ulama pertama yang dipunyai
Indonesia, yang sangat paham "hidup di luar masjid". .

Abdul Malik (bin Abdul) Karim Amrullah, HAMKA, dilahirkan di Negeri Sungai
Batang, di sebuah rumah di pinggir Danau Maninjau yang molek di tanah
Minangkabau. "Nama ibuku Shafiyah," katanya dalam bukunya Kenang-kenangan
Hidup. "Beliau meninggal pada usia masih muda, sekitar 42 tahun. Beliau
dianugerahi Tuhan sepuluh orang putra. Lima dengan ayahku dan lima pula
dengan suaminya yang kedua. Ibuku cantik! . . . " la sangat memuja ibunya —
sebagaimana juga istrinya yang pertama, nanti, Siti Raham. Ayahnya, yang ia
kagumi, hanya sebentar-sebentar tampak menyelinap dalam hidup intelektualnya
–meski dengan pengaruh sangat kuat.

Haji Rasul, nama asli sang ayah, adalah orang pribumi pertama yang mendapat
gelar doktor honoris causa — dari Universitas Al Azhar, Kairo, tempat ia
sendiri belakangan juga mendapat gelar yang sama di tahun 1958 –dan pemimpin
pesantren Sumatra Thawalib yang masyhur di Padangpanjang. Kenang-kenangan
masa kecil inilah yang, bagi siapa yang membaca buku-bukunya, termasuk
Ayahku, membentuk jiwa anak muda yang bengal namun lembut itu. Si Malik itu
seorang jagoan kecil dulu. Belajar silat, belajar iniitu, kemudian lari ke
Jawa dan berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan Suryopranoto, ikut
pergerakan, lari ke Mekah — dan akan tinggal di sana kalau saja tidak
dinasihati Haji Agus Salim untuk pulang. Dan jangan lupa: pemuda ini juga
bercinta — di kapal, misalnya, meski akhirnya tak jadi kawin. Ia sendiri
mengakui sifat-sifatnya yang dulu: kecuali pemarah, pantang tersinggung dan
perajuk, "juga lekas jatuh hati kepada gadis-gadis" . . . Memang sangat
manusiawi. Ia memang akhirnya menjadi seperti yang dicita-citakan ayahnya:
mengganti kedudukannya sebagai ulama, seperti juga neneknya dan ayah
neneknya.

Tapi bahwa ia tak seperti mereka, terlihat misalnya dari sikap Buya kepada
poligami: Hamka termasuk ulama yang tidak merestuinya. Kenang-kenangannya
masa bocah, dari sebuah keluarga yang pecah, yang berpoligami dan bercerai,
rupanya cukup tajam untuk menggugah jiwa halusnya. Kenang-kenangan itulah,
bersama dengan penghayatannya kepada adat Minangkabau, yang menjadi modal
pokok roman-romannya yang memeras air mata: *Di Bawah Lindungan
Ka'bah*, *Tenggelamnya
Kapal van der Wijk*, *Si Sabariah*,* Dijemput Mamaknya*,* Merantau ke Deli*,
dan kumpulan cerpen *Di Dalam Lembah Kehidupan*.

Hamka bukan sekedar "ulama yang bersastra". Ia ulama, dan ia pengarang.
Hanya segi sastra itu makin mundur ke belakang sejalan dengan usianya yang
menua, maupun tugas-tugasnya yang menjadi makin formal agama. Ketika ia
menulis tafsir Qur'annya yang 30 jilid, yang diberinya judul dengan nama
masjid yang dicintainya, Al Azhar, kemampuan kepengarangan itu tidak lahir
dalam wujud bahasa yang disengaja indah. Namun orang toh tahu bahwa caranya
bertutur betapapun berbeda. Tafsir itu sendiri dikerjakannya di penjara
rezim Soekarno. Ia ditangkap persis ketika sedang memberi pengajian '.
Kepada seratusan ibu-ibu di bulan Ramadhan. Pengalaman itu ada terasa
menerbitkan rasa pahit juga. Namun bahwa Hamka. "mudah memaafkan dan
menyesuaikan diri", terlihat dari misalnya pergaulannya dengan keluarga Bung
Karno — Nyonya Fatmawati terutama — yang sangat baik sampai akhir hayat.

Ulama ini memang memenuhi fungsi pemimpin rohani yang paling pokok jadi
pelayan. Asal jangan ditekan, dan jangan dibeli. Kata-katanya enam bulan
lalu, ketika jilid terakhir tafsir itu selesai dicetak, merupakan salah satu
firasat. "*Nampaknya, tugas yang menjadi beban selama ini selesai. Tinggal
lagi kini menunggu panggilan llahi . . .* " Dan panggilan itu pun datang
kini.

"*Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir
besar. Kita kehilangan seorang sastrawan besar,* " komentar Menteri Agama
Alamsyah, ketika melepas jenazah almarhum di pekuburan. E.Z. Muttaqien,
salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia sekarang ini mengakui:
"*Akhir-akhir
ini beban Buya Hamka memang sangat berat. Kesehatannya tidak memungkinkannya
lagi memikul beban itu*."

*****

Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar
pidato M. Natsir yang mengurai kelemahan system kehidupan buatan manusia dan
dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam
sebagai dasar Negara RI.

*KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR*

*Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir*

*Bongkar apinya sampai bertemu*
*Hidangkan di atas persada nusa*
*Jibril berdiri sebelah kananmu*
*Mikail berdiri sebelah kiri*
*Lindungan Ilahi memberimu tenaga*
*Suka dan duka kita hadapi*

*Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu*
*Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi*
*Ini berjuta kawan sepaham*
*Hidup dan mati bersama-sama*
*Untuk menuntut Ridha Ilahi*
*Dan aku pun masukkan*
*Dalam daftarmu……!*

(dikutip dari buku "Mengenang 100 tahun HAMKA")

Sajak berikut merupakan rangkaian dari sajak berbalas dari M Natsir pada
Buya Hamka yang sebelumnya menyusun sajak untuk M Natsir yang berjudul
"Kepada saudaraku M Natsir".

*DAFTAR*

*Saudaraku Hamka,*
*Lama, suaramu tak kudengar lagi*
*Lama…*

*Kadang-kadang,*
*Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,*
*Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,*
*Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,*
*Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,*

*Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam "Daftar".*
*Tiba-tiba,*
*Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,*
*Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,*
*Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,*
*Yang biasa bersenandung itu,*
*Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.*

*Aku tersentak,*
*Darahku berdebar,*
*Air mataku menyenak,*
*Girang, diliputi syukur*

*Pancangkan !*
*Pancangkan olehmu, wahai Bilal !*
*Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,*
*Walau karihal kafirun…*
*Berjuta kawan sefaham bersiap masuk*
*Kedalam "daftarmu" … **

*Saudaramu,*
Tempat, 23 Mei 1959

*****

*Ceramah Buya Hamka*

- Bersyukurlah<http://www.youtube.com/watch?v=LOGiCYKnXpU&feature=related>
- Ibadah Puasa<http://www.youtube.com/watch?v=xJxWIL2iYvU&feature=related>
- Hidup Sesudah
Mati<http://www.youtube.com/watch?v=Nv5xr9ybT24&feature=related>
- Dari Gelap Menuju Terang <http://www.youtube.com/watch?v=UCOcAiWz4c4>
- Ibadah Haji<http://www.youtube.com/watch?v=WCaKyRg4W2Q&feature=related>
- Cinta <http://www.youtube.com/watch?v=LWGyhSMTIPo&feature=related>
- Pegangan Hidup <http://www.youtube.com/watch?v=FQbwj368Vas>
- Haus <http://www.youtube.com/watch?v=QjKcjerTsao>
- Menjawab Surat
Pendengar<http://www.youtube.com/watch?v=XmzYflAGzfs&feature=related>

__._


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
daarut-tauhiid-digest@yahoogroups.com
daarut-tauhiid-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
daarut-tauhiid-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

5 Daarut Tauhiid: [daarut-tauhiid] sejarah indonesia Fw: Buya Hamka ~ketika ulama tak bisa dibeli~ _.___ Salam, Sebuah kepingan sejarah yang salah satu episodenya bertepatan dengan bulan yang disucikan dan dimuliakan ummat Islam khususnya ...
< >