---------- Forwarded message ----------
From: "anies baswedan" <baswedan@...>
Date: 5 October 2010 6:06:26 PM AWST
Ya Nabi salam alaika
Ya Rasul salam alaika
Ya habibie salam alaika
Shalawatullah alaika
Sekitar 1,000 anak-anak menghampar di lapang rumput depan pondok. Lautan
kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan menggema.
Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini
dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Utk mencapai-nya harus terbang dari
Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat lalu dari
airport yang mungil itu, naik mobil kira2 satu jam. Masuk di tengah2
desa-desa dan perkampungan umat Budha, disitu berdiri Pondok Ban Tan.
Dibangun awal 1900, dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, menjaga
aqidah umat Islam yg tersebar di kampung2 yang mayoritas penduduknya
beragama Budha.
Malam itu, melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa
depan. Anak-anak yang dititipkan orang tua-nya untuk sekolah ke Pondok,
untuk menjaga KeIslaman, untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan
Budha ini. Di propinsi ini kehadirannya penuh nuansa damai. Sebuah tradisi
yang harus dijaga terus.
Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah satu event
puncak utk keluarga pengasuh pondok ini. Di awal tahun 1967 terjadi
perdebatan panjang diantara para guru di Pondok ini. Anak tertua Haji
Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu
memenangkan bea-siswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat.
Pondok Ban Tan seakan goyah. Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan
Muslim yang kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun
1960an, cucu tertua pendiri Pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya
santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau
Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi
Amerika ?!?; tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri
belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya:
separoh takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah
yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka ti
dak ingin kehilangan anak cerdas itu.
Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu, mengatakan, "saya
sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan saya ikhlas jika
dia berangkat". Ruang musyawarah di pondok yang tanpa listrik itu jadi
senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang
ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke
Amerika.
Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu terjadi benar: anak
itu tidak pernah kembali jadi guru atau jadi pengelola Pondok. Dia tidak
meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak
muda itu terlempar ke orbit lain.
Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai
orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh
pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini.
Dia pulang sebagai Sekretaris Jendral ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal,
kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah Menteri Luar
Negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menlu di Negara berpenduduk
mayoritas Budha.
Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; dikampungnya dia dikenal
sebagai Abdul Halim bin Ismail.
Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh
bangunan Pondok ini nampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari
berbagai negara. Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia utk Pondok
mungil di pedalaman ini. 10 orang adiknya (dari satu ayah-ibu) menjadi guru,
meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya.
Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu "hadir" disini, dia
membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim
Thailand di dunia.
Dia tidak pernah hilang seperti diduga guru-gurunya. Dia masih persis
seperti kata Kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin
Pitsuwan, 3 tahun lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan
mengatakan: isyhadu bi ana muslimin.
Ramadhan kemarin, saat kita makan malam -Ifthar bersama- di Bangkok, Surin
cerita tentang conference di Walailak University dan ingin undang ke
Pondoknya awal Oktober. Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di
Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa sms meyakinkan bahwa ke "Ban-Tan"
lebih utama daripada ke "Ban-Dung".
Malam ini, duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur
rasanya. Merubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya
duduk sholat berjamaah disamping Surin, selesai sholat ratusan tangan
mengulur, semua berebut salaman dengannya. Wajah takjub santri-santri itu
tidak bisa disembunyikan, mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia
seakan jadi visualisasi nyata, dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil
di pedalaman Thailand.
Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan dibuatkan panggung utk menyambut.
Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan kemahiran bercakap
melayu, inggris dan arab. Sebagai puncak acara mereka tampilkan Leke Hulu
(Dzikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni panggung. Seluruh
santri ikut berdzikir, gemuruhnya menggetarkan dada.
Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi di Thailand
khusus datang dari Sangklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi
bersama di Pondoknya. Kita ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya,
karena garis wajahnya unik; dia jawab kakek saya dari Sumatera, tapi dia
keturunan Hadramauth.
Hari itu saya bersyukur dan bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini
perjalanan luar biasa. Tapi dia belum puas, Surin panggil salah satu alumni
pondoknya (doktor ilmu management) untuk antarkan saya ke Masjid di
kampung-kampung pesisir pantai. Surin ingin kenalkan dengan Ulama terkenal
asal Minangkabau.
Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat simpel, saya
sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang Madrasah yg
dipimpinnya. Kita berdiskusi tentang suasana disini, tentang Minang, dan
tentang kemajuan. Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan
beberapa foto-foto orang tuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di
Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu,
dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama. Mengagumkan, anak-anak
muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dinul Islam. Mereka hadir
dan hidup berdampingan penuh kedamaian.
Lengkap sudah perjalanan kali ini. Dalam satu rotasi ditemukan dengan
komunitas yang kontras. Di Kuala Lumpur, berdialog dengan kalangan bisnis
dan politik se ASEAN dengan suasana megah, di Thailand Selatan berdialog
dengan kaum Muslim minoritas dengan suasana sederhana, sangat bersahaja.
Sekali lagi kita ditunjukan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi
aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah lalu biarkan anak muda terbang
mencari ilmu, membangun network, merajut masa depan. Anak muda tidak takut
menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab
doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya,
bagi negerinya dan bagi umatnya.
Di airport kita berpisah. Saya pulang kampung ke Jakarta dan Surin berangkat
ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan asean dalam
Asean-European Summit.
Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi
pemimpin se-Asia Tenggara. Dan, pada hari ini juga Ibunya masih tetap
tinggal di pondok Ban Tan, berusia 90 tahun lebih, tetap mendoakan anaknya
seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu.
Barakallahu lakum . . . .
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
====================================================