+ -

Pages

Jumat, 12 November 2010

[daarut-tauhiid] Vivian Espin: Allah Mengabulkan Apa yang Saya Inginkan

 

Vivian Espin: Allah Mengabulkan Apa yang Saya Inginkan
Kamis, 11 November 2010, 15:18 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Hidup selalu memiliki saat-saat yang baik
dan buruk. Begitu pula dengan saya, Vivian Espin (22) dari Ekuador.
Terkadang ketika saya memikirkan masa lalu, teringat kenangan yang
menyakitkan. Saya menginginkan hal-hal yang berbeda seperti keluarga
yang normal, atau mungkin merawat kedua orang tua. Saya tidak tahu,
tapi saya yakin semuanya memiliki alasan.

Masa kecil saya begitu keras. Ayah seorang yang keras, namun ibu
sangat patuh. Kami memiliki masalah keuangan dan banyak persoalan
lainnya yang mempengaruhi kakak dan mental saya sendiri. Di masa
kecil, ibu kerap mengajarkan saya bahasa Inggris dan pelajaran lainnya
di rumah. Sehingga pada usia empat tahun, ibu memutuskan untuk
mengirim saya ke sekolah.

Orang tua mengirim saya belajar di sekolah Katolik. Alasannya, ibu
menginginkan saya untuk mendapatkan keimanan yang lebih baik kepada
Tuhan. Apalagi, sekolah Katolik ini merupakan salah satu yang terbaik
di kota tempat tinggalku dan ayah juga bisa membanggakan dirinya bahwa
anaknya mampu mengenyam pendidikan di sekolah itu.

Sejak awal, usia saya memang lebih muda dibandingkan teman-teman
sekelas. Teman-teman kerap menjahili saya. Mereka menempelkan permen
karet ke rambut, mencuri barang-barang, membuang makanan saya ke
tempat sampah, dan keusilan lainnya. Karena itulah, kepala sekolah
lantas memutuskan untuk melindungi saya.

Setiap waktu istirahat, saya tidak diizinkan bermain bersama
teman-teman di halaman sekolah. Saya justru menghabiskan istirahat di
ruang guru atau kepala sekolah. Karena sekolah Katolik, maka hampir
semua guru, kepala sekolah, dan direksi adalah biarawati. Saya pun
mulai menjadi sangat dekat dengan mereka dan mereka pun menyayangi
saya. Bahkan, mereka kemudian membiarkan saya untuk menginap di rumah
dinas mereka yang berada di lingkungan sekolah.

Orangtuaku bercerai ketika usiaku hampir delapan tahun. Kejadian itu
menjadi peristiwa yang paling traumatis dalam hidup saya yang mungkin
tak akan pernah saya ceritakan kepada orang lain sekarang hingga masa
nanti. Saya menjadi kerap menghabiskan waktu seorang diri. Pikiran
terkadang mulai melayang. Memikirkan sesuatu yang yang tak ada
jawabannya.

Usai bercerai, ibuku menjadi lebih relijius. Ibu pun mulai banyak
mengontrol saya. Memang terkadang itu baik bagiku, tapi kadang
sebaliknya. Akibatnya, saya seperti dibesarkan dengan rasa takut,
ketidakamanan dan keraguan.

Saya menjadi suka menyendiri di tempat-tempat yang tenang.
Satu-satunya tempat yang cocok untuk melakukan itu adalah di halaman
sekolah yang luas dengan rumput hijaunya. Saya kerap berbaring di sana
sambil memandang langit dan merasakan sejuknya hembusan angin.
Semuanya terasa begitu damai.

Para biarawati begitu menghargai saya. Begitu banyak waktu yang
dihabiskan bersama mereka. Saya juga merasa bahwa satu-satunya cara
untuk bisa melarikan diri dari persoalan di rumah adalah dengan
mencari perlindungan pada Tuhan. Sehingga pada usia 12 tahun, saya
mengatakan kepada ibu bahwa saya merasa lebih suka tinggal di biara
dengan para biarawati dan ingin menjadi bagian dari mereka.

Namun ibu tak mengizinkan. Ibu senang saya ingin dekat dengan Tuhan
tapi saya diharapkan kelak bisa memberikan cucu bagi dirinya. Jadi,
ibu tak membiarkan saya menjadi biarawati.

Setelah tak diizinkan menjadi biarawati, saya memutuskan untuk lebih
dekat kepada Tuhan dengan mempelajari dan memahami isi Alkitab. Namun
setelah saya banyak membaca isinya ternyata yang muncul dalam benak
justru segudang pertanyaan. Saya merasakan banyak hal yang tak masuk
akal, kontradiksi, dan di beberapa bagian pesan yang disajikan Alkitab
tidak lengkap. Hal itu membuatnya bertambah penasaran untuk menemukan
jawaban logisnya.

Saya lantas mulai membaca buku agama dan internet sangat membantu
untuk melakukan itu. Banyak informasi mengenai Yudaisme, Buddhisme,
Agnostisisme, Hindu, dan Kristen sendiri serta sekte-sektenya. Namun
tak satu pun penjelasan yang diberikan oleh agama-agama itu yang
memuaskan logikaku.

Sementara untuk mempelajari Islam, saya tidak tertarik karena
sebelumnya saya kerap mendengarkan hal buruk mengenainya. Tetapi
karena saya tak kunjung menemukan penjelasan logis atas berbagai
pertanyaan di dalamdiri, akhirnya saya memutuskan untuk coba
mengetahui tentang Islam. Mungkin, Islam bisa menjadi opsi terakhir
untuk menemukan jawaban logis itu.

Ajaran Trinitas dalam Kristen tak pernah jelas bagi saya. Ketika saya
mulai membaca penjelasan Islam mengenai esensi Tuhan, penjelasan logis
mulai didapat. Pertanyaan berapa banyak sebenarnyakah Tuhan itu yang
selama ini menghantui pikiran mulai terkuak. Islam mengatakan hanya
ada satu Tuhan. Penjelasan ini bagi saya lebih bisa diterima akal.

Sejak itu, saya juga mulai membaca secara singkat tentang Nabi
Muhammad. Saya mendapatkan ternyata Nabi sangat dekat dengan Musa.
Ternyata Muhammad membawa pesan yang sama dengan semua nabi sebelumnya
yang datangnya dari Tuhan. Penjelasan Islam ini membuat saya merasa
telah menemukan agama yang benar.

Dalam hidup, saya mempunyai dua keinginan besar, yaitu pergi ke Mesir
dan menikah dengan lelaki baik yang sungguh-sungguh mencintai dan
menjaga saya. Mungkin usia saya 17 atau 18 tahun, saya tidak ingat
pastinya, ketika saya mengungkapkan keinginan pindah agama menjadi
Muslim kepada ibu. Saya katakan kepadanya bahwa saya suka pergi ke
Islamic Center di kota dan mempelajari Islam.

Kontan, keinginanku itu membuat ibu marah. Dia mengatakan hanya
orang-orang Kristen yang boleh tinggal di rumahnya. Ibu juga
mengatakan jika aku serius menjadi Muslim maka harus pergi
meninggalkan rumah. Karena tak ingin melukai perasaannya, saya lantas
mengatakan bahwa itu hanya candaan.

Namun ibu menganggap keinginanku itu serius. Karena itu, dia meminta
bibi unutk membawakan sebuah buku tentang Islam. Buku yang isinya
ternyata menceritakan keburukan tentang Islam. Hal itu membuatku
sempat merasa takut dan ragu terhadap Islam. Sehingga saya sempat
menghentikan niat untuk menjadi Muslim. Namun saya juga tak ingin
kembali ke Kristen karena merasa sudah tak nyaman dengan agama yang
dianutnya sejak lahir itu.

Suatu hari, ibu mengubah agamanya dari Katolik menjadi Evangelis
setelah mukjizat menghampiri salah seorang saudara lelakinya. Paman
divonis menderita kanker dan dokter mengatakan usianya mungkin tinggal
sepekan atau sebulan lagi. Namun dua tahun berlalu, dan paman masih
tetap bersama kami.

Hingga beberapa bulan kemudian, saya bertemu dengan seorang yang luar
biasa dari Arab Saudi. Dia seorang Muslim. Kami saling jatuh cinta.
Kami pun sama-sama berkeinginan bertemu dan menikah di Mesir. Ini
seperti sebuah mimpi besar yang akan menjadi kenyataan. Saya
membayangkan bakal mendapatkan suami yang baik, penuh cinta,
melindungi, romantis, seperti pangeran yang kerap dimimpikan oleh
kebanyakan gadis.

Tapi saya menyadari tak mudah mewujudkan itu. Saya tak memiliki cukup
uang untuk menempuh perjalanan ke Mesir. Saya berpikir lelaki idaman
seperti itu tak mungkin ada di mana pun kecuali dalam mimpi saja.

Namun Tuhan berkata lain. Tuhan memberikan jalan bagi saya untuk
mewujudkan mimpi ke Mesir dan bertemu dengan lelaki yang saya cintai.
Saya pun menikah di sana. Tuhan memberikan semua apa yang saya
inginkan.

Setelah datang ke Mesir, saya tak mau tergesa-gesa menjadi mualaf.
Saya merasa belum yakin 100 persen. Sehingga suamiku memperkenalkan
seorang wanita yang memiliki pengetahuan, kesabaran, dan keimanan.
Wanita bernama Raya itu membantu saya untuk mengatasi semua keraguan
dan kesalahpahaman tentang Islam.

Akhirnya, saya mengucapkan syahadat pada hari Sabtu, 30 Agustus 2009.
Saya mau menjadi Muslim hanya karena sudah betul-betul meyakini
keberadaan Allah yang Maha Esa dan Muhammad sebagai Rasulnya. Meski
sudah menjadi Mualaf, namun dalam kehidupan sehari-hari saya belum
bisa meninggalkan kebiasaan lama. Saya hanya berjanji kepada suami
akan mulai menjalani kehidupan yang Islami bila waktunya sudah tepat.
Hingga akhirnya itu membuat marah suamiku.

Akibat diriku yang tak kunjung mempraktikkan kehidupan Islam, suami
lantas menceraiku. Saya merasa dunia seperti hancur berkeping-keping.
Dalam putus asa, saya tak tahu kepada siapa lagi meminta bantuan
selain kepada Raya. Untungnya, Raya mau menolong dan mengangkatku
sebagai anaknya.

Mendengarkan kabar itu, ibu justru menyalahkan diriku. Dia katakan
manusia tak pernah belajar dari pengalaman sehingga hal buruk terjadi.
Namun perlahan kenyataan ini coba saya terima dengan ikhlas. Masalah
keluarga ini lantas saya serahkan kepada Allah, Tuhan yang Maha
Pemaaf.

Saya mulai kembali proses kehidupan sebagai Muslim dari awal. Saya
putuskan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Saya pun mulai mengubah
cara hidup mulai dari berpakaian dengan mengenakan jilbab. Saya
bertekad untuk mengubah seluruh hidup saya. Saya ingin membuktikan
kepada Allah, kepada orang-orang yang saya cintai dan diri sendiri,
bahwa saya sekarang telah benar-benar menjadi sosok yang baru.

Alhamdulillah, Allah kembali memberikan pertolongan. Usai tekad
dilaksanakan Allah menggerakkan hati suami untuk kembali kepada
diriku. Hanya dengan pertolongan Allah, kami bisa bersama kembali.

Red: Budi Raharjo
Rep: Reading Islam

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/11/11/146143-vivian-espin-allah-mengabulkan-apa-yang-saya-inginkan

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
.

__,_._,___
5 Daarut Tauhiid: [daarut-tauhiid] Vivian Espin: Allah Mengabulkan Apa yang Saya Inginkan   Vivian Espin: Allah Mengabulkan Apa yang Saya Inginkan Kamis, 11 November 2010, 15:18 WIB REPUBLIKA.C...
< >