+ -

Pages

Minggu, 28 Agustus 2011

[daarut-tauhiid] T. Djamaludin : Kejumudan Metode Hisab Wujudul Hilal

 



>>________________________________

From: Hatta Syamsuddin <sirohcenter@gmail.com>

Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI

Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia.
Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat
(pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih
spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah
yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan
sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas
kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk
diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.
Perbedaan terkahir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428
H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 juga hampir
dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah,
dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga
akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi
sementara, "mari kita saling menghormati". Adakah solusi permanennya?
Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.

Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang
sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus
penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29
Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat
atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab
sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis,
sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat
astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan
posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan ("hilal") sudah wujud di
atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang
mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus
2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang
teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat.

Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan
1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering
kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat
ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
>Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul
hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal
Ramadhan.  Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak
kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai
simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika
dibandingkan dengan metode rukyat.  Tentu saja mereka anggota fanatik
Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab.

� Oktober 2003 saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan "Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal
dan Mathla' Wilayatul Hukmi". Saya katakan  wujudul hilal hanya ada
dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya
sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar'i dan astronomisnya. Dari segi syar'i, tafsir yang
merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan. Dari segi astronomi,
kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama
ditinggalkan di kalangan ahli falak.
>Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera
Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya beda dengan metode hisab atau
rukyat). Lalu berkembang hisab imkan rukyat, tetapi masih menggunakan
hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya maish rendah. Muhammadiyah
pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk
menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisabijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat
daripada matahari). Kini kriteria wujudul hilal mulai ditinggalkan,
kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kekurangan ahli
hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini
para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat sudah
sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak
astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat
mudah diakses secara online di internet.

Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak
pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi
terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul
hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka
mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembagathink tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat
dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan
perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli
hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka
pengamat rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas "kecil" yang
sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis  kadang mengidentikan sebagai
"saudara kembar" Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa
menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia,
sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan. Lalu mau kemana
Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang
modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Semoga!

Sumber :http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE
A bad score is 598. A bad idea is not checking yours, at freecreditscore.com.
.

__,_._,___
5 Daarut Tauhiid: [daarut-tauhiid] T. Djamaludin : Kejumudan Metode Hisab Wujudul Hilal   >>________________________________ From: Hatta Syamsuddin < sirohcenter@gmail.com > M...
< >