+ -

Pages

Rabu, 15 Juni 2011

[daarut-tauhiid] Memilih Pilihan

 

Memilih Pilihan




Oleh Fathelvi Mudaris

=====================

Gemericing Tamburine itu awalnya tak menarik perhatianku. Sudah
terlalu biasa telingaku mendengar suara gemericing ini di setiap
perempatan jalan dan lampu merah. Apalagi, jika ini bukan aksi para
pengamen anak-anak di bawah umur. Tapi, kemudian perhatianku serta-merta
dilaihkan pada sumber suara, demi mendengar suara tua nan serak
menyanyikan sebuah lagu yang tak kumengerti. Mungkin bahasa Jawa. Masya
Alloh, seorang laki-laki tua yang tubuhnya sudah gemetaran.

Aah, laki-laki tua penuh kegetiran, melawan kerasnya hidup di Ibu
Kota. Mungkin ia tak punya pilihan selain menghabiskan masa senja dengan
mengamen dari satu bus ke bus lainnya. Tanpa sanak family. Tanpa anak
dan cucu. Sebab hidup harus terus diarungi. Apakah ia berkehendak untuk
memilih pilihan ini? Siapapun tentu tak pernah berharap demikian.

Lain lagi ceritanya dengan gadis belia di belahan bumi Indonesia
lainnya. Ketika umurnya baru saja menginjak Sembilan belas atau dua
puluh tahun. Gadis itu cantik. Sangat cantik! Siapapun yang pernah
berjumpa dengannya, mengatakan kalau gadis itu adalah gadis yang sangat
cantik. Bahkan, aku sebagai seorang perempuan saja, ingin selalu mencuri
pandang pada wajah ayu nan polos itu. Tapi, apakah ia pernah
membayangkan ataupun membuat suatu peta dalam hidupnya bahwa ia akan
menjadi istri ketiga dari seorang lelaki konglomerat yang terpaut umur
sangat jauh darinya? Ah, tidak. Siapapun gadis, pasti tak ingin menjadi
istri ketiga. Tapi—sekali lagi—ini adalah pilihan hidupnya. Yah, pilihan
hidupnya.

Ketika itu, aku tanyakan pada beberapa orang gadis. "Bersediakah kamu
jadi istri ketiga?"
Hampir semua menggeleng kuat dan mengatakan tidak.
Dan, mungkin juga itu jawaban sang gadis cantik itu ketika ia ditanya
dulunya. Tapi, ada satu jawaban lain yang cukup menggelitik bagiku dari
salah seorang gadis yang kutanya. Bahwa, kita tak tahu takdir di hari
depan kita akan seperti apa. Jadi, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang
abstrak untuk dijawab. Begitu katanya. Aku mengangguk, mengiyakan.
Sebuah jawaban cerdas.

Yah, tentang pilihan hidup dan takdir. Bahwa kita tak pernah tahu
tentang apa yang terjadi di hari esok. Mungkin hari ini kita—terutama
aku—begitu idealisnya sehingga lupa dengan hamparan realita yang tak
seindah catatan asa. (Kadang, aku sungguh sangat tak ingin selalu berada
di ranah idealis ini). Penat sudah bergelut idealisme. Padahal, apa
yang menurut diri kita itu baik, belum tentu baik adanya. Alloh lebih
tahu. Sungguh, Alloh lebih tau.

Adalah sesuatu yang sangat berat, jika dari banyak pilihan hidup itu,
tak satu pun pilihan yang ingin kita pilih. Tapi, who knows? Siapa yang
tahu? Entah, berat hari ini, akan mendatangkan kebaikan di hari esok?!
Juga adalah berat atas sebuah rasa yang bernama kehilangan—entah itu
benda berharga ataupun sahabat. Tapi, bisa jadi saja, ini adalah cara
Alloh untuk menghindarkan kita dari kemudharatan jika kita masih
membersamainya.
Seburuk apapun. Seberat apapun, menurut kaca mata
kedhaifan kita. Sekali lagi, Alloh-lah yang lebih tahu.

Mencintai sesuatu justru akan menjadi sebuah siksaan berat, ketika
kita terlanjur menggantungkan kebahagiaan atas kebersamaan dengan
sesuatu yang kita cinta itu. Kita menderita bukan karena mencintai, tapi
menggantungkan kebahagian pada yang dicintai, apakah benda ataupun
manusia.

Tentang pilihan, disukai atau tidak, tetap saja kita akan dihadapkan
dengan berbagai pilihan itu, berikut rintangan dan kesulitan yang
menyertainya. Kadang kala, ada perlunya kita mencoba berdamai dengan
segenap realita yang ada. Menggeser sedikit ambang idealism itu, sebatas
tak ada aturan krusial yang dilindasnya, apalagi aturan Alloh. Sebab,
keburukan yang kita kira hari ini, belum tentu akan berujung pada
keburukan! Belum tentu.

Angkuh sekali, jika kita berani mengukur standar orang lain di bawah
kita. Siapa yang bisa menjamin. Bahkan, kita tak lebih baik! Sungguh,
tak lebih baik! Lalu, apakah ada alasan lagi untuk membuat standardisasi
atas orang lain? Demi Alloh—jika bukan karena agama dan kemuliaan
Islam—kita tak punya alasan apapun untuk itu.

Maka, kali ini mungkin kita perlu berdamai dengan realita yang ada.
Karena kita tak pernah tau, akan seperti apa takdir kita di hari depan.
Segala keputusan-keputusan atas pilihan itu, hendaklah telah
'dikomunikasi'kan kepada Rabb kita, pun pada kondisi ruhiyah terbaik
kita. Agar keputusan atas segala pilihan hidup—apapun itu, juga adala
keputusan yang berlandaskan iman, bukan hanya karena luapan emosi
semata.

www.fathelvi.blogspot.com

sumber : eramuslim.com

====================
**SURYATI**
Gd. Pascasarjana FEUI
Pascasarjana Ilmu Ekonomi Lt. 2
Kampus UI
Depok

Telp : 78849152-53
Fax : 78849154
Email : y4t12002@yahoo.com, suryati06@ui.ac.id

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Find useful articles and helpful tips on living with Fibromyalgia. Visit the Fibromyalgia Zone today!

.

__,_._,___
5 Daarut Tauhiid: [daarut-tauhiid] Memilih Pilihan   Memilih Pilihan Oleh Fathelvi Mudaris ==============...
< >